Selasa, 23 Juni 2009

Butuh Waktu Membangun Imej, Fotografi Sangat Individualistik

Mengalirkan imaji dalam kepala menjadi sebuah gambar berestetika dan bermakna terkadang prosesnya tak semudah yang kita bayangkan. Ada penyelarasan intens antara ide, konsep, dan eksekusi akhir untuk memvisualisasikan bahasa angan secara sempurna. “Bagiku konsep itu penting, dengan demikian kita bisa melangkah memikirkan proses kreatifnya mau di out door atau in door,” ujar Eky Tandyo, salah satu fotografer professional yang sudah memulai kiprahnya semenjak tahun 1990-an. Menurut lulusan KVB College Sydney ini, konsep membantu kita untuk membuat foto yang tak hanya artistik. Tapi juga bisa bertutur. “Dalam membuat foto aku seperti bercerita. Jadi semua unsur harus aku pikirkan sampai hal-hal yang detail,” ujarnya.
Cerita itu ditunjukkan Eky pada pameran solonya di tahun 1999. “Judulnya perjalanan dan itu merupakan gambaran dari hidup manusia,” ujarnya. Konsep perjalanan itu direpresentasikan dalam bentuk jendela, pintu, lorong, dan tangga. Menurut Eky secara filosofi keempatnya mewakili diri manusia, seperti jendela dan pintu sebagai gambaran sifat terbuka atau tertutup. Tangga adalah cerminan langkah dan lorong menunjukkan akan sebuah perjalanan spiritual. “Untuk mengerjakannya, aku butuh waktu lima tahun. Jadi konsepnya benar-benar aku pikirkan...

- kutipan : Indonesian Photography -

Express Yourself

Dalam teorinya yang terkenal Wilson Hicks seorang redaktur foto Majalah LIFE era1930-an pernah mengatakan bahwa Foto jurnalistik adalah paduan gambar dan kata. Artinya foto jurnalistik merupakan gabungan dari dua media komunikasi yaitu: visual dan verbal. Ketika kata dalam berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What, Where, When ,Who ,Why dan How), maka kaidah itupun berlaku pada foto jurnalistik. Karena itu dalam perwujudannya item visual dan verbal tersebut akan saling menopang untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Oleh sebab itu foto jurnalistik mempunyai substansi yang spesifik di antara cabang fotografi lain. Dan bagi seorang pewarta foto senior seperti Julian Sihombing spesifikasi itulah yang membuat fotografi jurnalistik selalu mempunyai nilai tersendiri.

Barangkali karena kedalaman nilai itu pula yang membuat Julian betah menekuni profesinya sebagai pewarta foto selama lebih dari 20 tahun. Selama lebih dari dua dekade itu pula nama Julian Sihombing cukup mengemuka di kalangan fotografer seangkatannya dan fotografer muda seperti sekarang. Oleh fotografer seangkatannya dia adalah pembaharu, dan bagi fotografer muda Julian adalah inpirasi. Julian mengawali karirnya sebagai pewarta foto di majalah Jakarta-Jakarta antara tahun 1985 hingga 1987. Sampai akhirnya mantan mahasiswa fakultas komunikasi Universitas Indonesia ini berpindah ke harian Kompas pada September 1987 hingga sekarang. Julian belajar fotografi ketika masih SMA dengan panduan buku. Alasannya sederhana, “Penyakit dari kita adalah ketika belajar dari orang lain kita akan jadi copy cat orang tersebut, dan saya tidak mau,” tegasnya. Apalagi bagi Julian, dalam fotografi yang dituntut adalah kebebasan. ” Express yourself,” timpalnya.

- dikutip dari Darwis T blog -